AL
- UMMAH
Sering
kali kita jumpai kata Al – Ummah
dalam ayat-ayat Al – Qur’an. Al – Ummah dalam segi katanya, berasal dari kata
“amma – yaummu” yang artinya menuju, menumpu, meneladani. Dari unsur kata
tersebut dapat diambil suku kata “um” yang artinya ibu dan “imam” yang artinya
pemimpin. Karena dua suku kata tersebut merupakan teladan serta tumpuan
masyarakat. Namun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata umat diartikan
sebagai para penganut atau pengikut suatu agama;makhluk manusia. Bahkan dalam
berbagai bahasan diartikan dengan berbagai arti. Seperti dalam bahasan filsafat
yang ditulis oleh para ilmun Rusia, mereka memahami kata umat sebagai bangsa
dan adapula yang mengartikannya Negara. Selain itu, kata Ummah banyak sekali
tersiratkan dalam Al – Qur’an dengan bermacam-macam persoalan. Seperti yang dijelaskan dalam riwayat
An-Nasa’I bahwa “tidak seorang mayatpun yang dishalatkan oleh umat dari kaum
muslim sebanyak seratus orang, dan memohonkan kepada Allah untuk diampuni,
kecuali diampuni olehnya”. Dalam penjelasan ini dapat kita lihat bahwa kata ini
didefinisikan sebagai semua kelompok yang dihimpun oleh sesuatu, seperti agama,
waktu, atau tempat yang sama, baik penghimpunannya secara terpaksa maupun atas
kehendak mereka.[1]
Dalam
buku lain[2]
mengatakan bahwa ummah ialah kata tunggal dan umam ialah bentuk jamaknya yang
berasal dari kata amma-ya’ummu-amman yang artinya “menuju”, “menjadi”,
“ikutan”, “gerakan”. Oleh karena itu kata ummah secara dialektika dapat kita
ambil setidaknya 3 kandungan maknanya, yaitu : suatu golongan manusia
(jama’ah), setiap manusia yang dinisabkan kepada seorang Nabi, dan setiap
generasi manusia sebagai suatu umat.
Menurut
Ali Syari’ati Ummah berasal dari kata amma artinya bermaksud, dan berniat
keras. Dalam hal ini kiranya ada tiga makna yang dapat diambil yaitu gerakan,
tujuan, dan ketetapan hati yang sadar. Dengan beberapa konsep yang terkandung,
antara lain: pertama, konsep konsep kebersamaan dengan arah dan tujuan tersebut
dan keharusan adanya pemimpin serta petunjuk kolektif. Oleh karena itu, ummah
menurut ali syari’ati ialah “kumpulan manusia yang para anggotanya memiliki
tujuan yang sama, satu sama lain bahu membahu, beregerak menuju cita-cita
bersama, berdasarkan kepemimpinan bersama”.[3]
Dari sini dapat kita pahami bahwa kata Ummah ialah kumpulan manusia yang
terdiri lebih dari satu orang, yang memiliki cita-cita dan tujuan yang sama
baik dibentuk secara kesepakatan maupun keterpaksaan.
Beberapa
konsep ummah[4] sebagai
bangunan masyarakat yang ideal sesuai dengan apa yang dimaksudkan dalam al –
Qur’an, konsep-konsep ini diambil dari oposisi-oposisi kata maupun kalimat yang
sempurna dalam al – Qur’an agar dapat kita pahami makna sebenarnya dan makna
sebaliknya sehingga kita lebih teliti dalam memaknai sebuah kata dalam al –
Qur’an. Konsep tersebut antara lain :
1.
Masyarakat patuh dengan
masyarakat tirani
Masyarakat patuh, dalam al – Qur’an
disebutkan dengan kata ummatan muslimatan.
Kata ini terdapat pada surat al – Baqarah ayat 128 yang berisi doa Ibrahim dan
Ismail yang meminta kepada Tuhan agar diberikan keturunan yang kemudian
dijadikan komunitas keturunan yang tunduk. Dalam hal ini, pemaknaan dari kata ummah akan bergantung pada kata
berikutnya yaitu muslimatan. Sehingga
dapat diketahui makna yang terkandung bernilai baik atau bernilai buruk. Maka
dalam buku Masyarakat High Politics yang saya kutip mengambil salah satu ayat
al – Qur’an yang isinya :
“Dan
barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang Dia orang yang
berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada buhul tali yang
kokoh dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan”.[5]
Dalam ayat diatas dapat kita lihat bahwa
muslimatan adalah orang yang
menyerahkan dirinya kepada Allah dan berani dengan tegas mengambil sikap
seperti itu artinya ia telah berpegang teguh pada pendiriannya. Inilah
orang-orang yang dikatakan sebagai ummatan
muslimatan atau kelompok orang-orang muslim yang yakin untuk berserah diri
kepada Allah. Ummatan muslimatan ini juga ditandai dengan sebuah kondisi
masyarakat yang didalamnya terdiri dari orang-orang yang memiiliki jiwa dan
sikap keteladanan.
Dapat kita lihat kebalikan makna dari
ummatan muslimatan yang tidak dikehendaki oleh Allah, yaitu sifat thaghut. Kata
thaghut ini dijelaskan dalam al – Qur’an sebagai berikut:
“dan
sesungguhnya kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
“sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu”, maka diantara umat itu ada
orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah da nada pula diantaranya
orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka
bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan
(rasul-rasul).”[6]
2.
Masyarakat moderat
dengan masyarakat ekstremis
Tipe masyarakat
ini ditandai dengan adanya masyarakat ekstrim kiri dan ekstrim kanan. Dimana
ekstrim kanan ialah sebutan untuk orang-orang yang terlalu normative dan
tekstual dalam memahami sesuatu, sedangkan ekstrim kanan ialah yang terlalu
jauh dari normative dalam memahami sesuatu dalam teks al – Qur’an. Masyarakat
moderat sendiri diambil dari kata ummatan
wasathan.
“dan demikian (pula) kami telah menjadikan
kamu (umat islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”.[7]
Ummatan wasathan
mengandung makna sebagai posisi tengah-tengah antara etika Yahudi dan etika
Nasrani. Diaman etika Yahudi merupakan etika yang kaku, keras dan formal dan
etika Nasrani lemah lembut dan bernuansa spiritual. Sifat tengah-tengah di sini
bukan berarti sifat yang tidak jelas, melainkan justru watak ini akan tampak
jelas terlihat dari sikapnya yang dapat memposisikan diri sesuai dengan kondisi
dan keadaan yang ada dalam kehidupan. Rasulullah mempertegas hal ini dengan
sabdanya yang mengatakan bahwa sebaik-baik perkara ialah paling tengah diantara
perkara itu.
3.
Masyarakat Kritis
dengan Masyarakat Diam
Masyarakat kritis
ditandai dengan suaranya yang lantang ketika melihat ketidak adilan, ketidak
jujuran, dan juga kebatilan. Beberapa teknik yang diberikan oleh Nabi melalui
beberapa stratifikasi dan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang: pertama,
perangkat kekuasaan, ini ialah posisi tertinggi dimana seseorang harus
menggunakan kekuasaannya dalam segala hal, baik politik, ekonomi, maupun
keagamaan untuk bersikap kritis menuju liberasi dan transformasi. Kedua, kritis
dengan ide. Apabila kekuasaan tidak dimiliki maka jalan lain ialah melalui ide,
gagasan, tulisan ataupun lisan. Tingkatan ini biasanya dilakukan oleh para
tokoh intelektual, penulis, pendakwah maupuun pemikir. Jika kedua kritis
tersebut tidak dapat dilakukan maka selanjutnya ialah kritis melalui doa agar
kondisi munkar beganti dengan ma’ruf. Inti masyarakat kritis dalam
konteks ummah ialah yang bergerak pada tiga gagasan, yaitu: kritik atas objek
sebelumnya, menawarkan objek baru dan melakukan objek baru tersebut. Kritis
inilah yang diharapkan dalam al – Qur’an. Sebaliknya, masyarakat diam dalam
banyak hal menciptakan orang-orang yang otoriter dan despotic. Bahkan
masyarakat diam juga akan memunculkan adanya sikap tirani, sikap dimana orang
menganggap dirinya paling benar dan ingin menguasai.
4.
Masyarakat Plural
dengan Masyarakat Tunggal
5.
Masyarakat Being Religious dengan Masyarakat Having Religion
6.
Masyarakat Adil dengan
Masyarakat Timpang
7.
Masyarakat Temporal
dengan Masyarakat Absolut
8.
Masyarakat Tanggung
Jawab dengan Masyarakat Nihilis
[1] M. Quraish Shihab, Wawasan Al
– Qur’an: Tafsir Al – Maudu’I atas Berbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan
anggota IKAPI, 1999), h. 325 – 328.
[2] Iswahyudi, Masyarakat High
Politics: Refleksi Masyarakat Ummah dalam Al – Qur’an (Jakarta: STAIN
Ponorogo Press, 2010), h. 47 – 48.
[3] Ibid., h. 48 – 50.
[4] Ibid., h. 50 – 84.
[5] Q.S. Luqman, 31: 22.
[6] Q.S. an – Nahl, 16: 36.
[7] Q.S. al – Baqarah, 2: 143.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar