Minggu, 07 September 2014

materi kuliah hari ini :


AL - UMMAH
Sering kali kita jumpai kata Al – Ummah dalam ayat-ayat Al – Qur’an. Al – Ummah dalam segi katanya, berasal dari kata “amma – yaummu” yang artinya menuju, menumpu, meneladani. Dari unsur kata tersebut dapat diambil suku kata “um” yang artinya ibu dan “imam” yang artinya pemimpin. Karena dua suku kata tersebut merupakan teladan serta tumpuan masyarakat. Namun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata umat diartikan sebagai para penganut atau pengikut suatu agama;makhluk manusia. Bahkan dalam berbagai bahasan diartikan dengan berbagai arti. Seperti dalam bahasan filsafat yang ditulis oleh para ilmun Rusia, mereka memahami kata umat sebagai bangsa dan adapula yang mengartikannya Negara. Selain itu, kata Ummah banyak sekali tersiratkan dalam Al – Qur’an dengan bermacam-macam persoalan.  Seperti yang dijelaskan dalam riwayat An-Nasa’I bahwa “tidak seorang mayatpun yang dishalatkan oleh umat dari kaum muslim sebanyak seratus orang, dan memohonkan kepada Allah untuk diampuni, kecuali diampuni olehnya”. Dalam penjelasan ini dapat kita lihat bahwa kata ini didefinisikan sebagai semua kelompok yang dihimpun oleh sesuatu, seperti agama, waktu, atau tempat yang sama, baik penghimpunannya secara terpaksa maupun atas kehendak mereka.[1]
Dalam buku lain[2] mengatakan bahwa ummah ialah kata tunggal dan umam ialah bentuk jamaknya yang berasal dari kata amma-ya’ummu-amman yang artinya “menuju”, “menjadi”, “ikutan”, “gerakan”. Oleh karena itu kata ummah secara dialektika dapat kita ambil setidaknya 3 kandungan maknanya, yaitu : suatu golongan manusia (jama’ah), setiap manusia yang dinisabkan kepada seorang Nabi, dan setiap generasi manusia sebagai suatu umat.
Menurut Ali Syari’ati Ummah berasal dari kata amma artinya bermaksud, dan berniat keras. Dalam hal ini kiranya ada tiga makna yang dapat diambil yaitu gerakan, tujuan, dan ketetapan hati yang sadar. Dengan beberapa konsep yang terkandung, antara lain: pertama, konsep konsep kebersamaan dengan arah dan tujuan tersebut dan keharusan adanya pemimpin serta petunjuk kolektif. Oleh karena itu, ummah menurut ali syari’ati ialah “kumpulan manusia yang para anggotanya memiliki tujuan yang sama, satu sama lain bahu membahu, beregerak menuju cita-cita bersama, berdasarkan kepemimpinan bersama”.[3] Dari sini dapat kita pahami bahwa kata Ummah ialah kumpulan manusia yang terdiri lebih dari satu orang, yang memiliki cita-cita dan tujuan yang sama baik dibentuk secara kesepakatan maupun keterpaksaan.
Beberapa konsep ummah[4] sebagai bangunan masyarakat yang ideal sesuai dengan apa yang dimaksudkan dalam al – Qur’an, konsep-konsep ini diambil dari oposisi-oposisi kata maupun kalimat yang sempurna dalam al – Qur’an agar dapat kita pahami makna sebenarnya dan makna sebaliknya sehingga kita lebih teliti dalam memaknai sebuah kata dalam al – Qur’an. Konsep tersebut antara lain :
1.      Masyarakat patuh dengan masyarakat tirani
Masyarakat patuh, dalam al – Qur’an disebutkan dengan kata ummatan muslimatan. Kata ini terdapat pada surat al – Baqarah ayat 128 yang berisi doa Ibrahim dan Ismail yang meminta kepada Tuhan agar diberikan keturunan yang kemudian dijadikan komunitas keturunan yang tunduk. Dalam hal ini, pemaknaan dari kata ummah akan bergantung pada kata berikutnya yaitu muslimatan. Sehingga dapat diketahui makna yang terkandung bernilai baik atau bernilai buruk. Maka dalam buku Masyarakat High Politics yang saya kutip mengambil salah satu ayat al – Qur’an yang isinya :

“Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang Dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada buhul tali yang kokoh dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan”.[5]

Dalam ayat diatas dapat kita lihat bahwa muslimatan adalah orang yang menyerahkan dirinya kepada Allah dan berani dengan tegas mengambil sikap seperti itu artinya ia telah berpegang teguh pada pendiriannya. Inilah orang-orang yang dikatakan sebagai ummatan muslimatan atau kelompok orang-orang muslim yang yakin untuk berserah diri kepada Allah. Ummatan muslimatan ini juga ditandai dengan sebuah kondisi masyarakat yang didalamnya terdiri dari orang-orang yang memiiliki jiwa dan sikap keteladanan.
Dapat kita lihat kebalikan makna dari ummatan muslimatan yang tidak dikehendaki oleh Allah, yaitu sifat thaghut. Kata thaghut ini dijelaskan dalam al – Qur’an sebagai berikut:

“dan sesungguhnya kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu”, maka diantara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah da nada pula diantaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).”[6]

2.      Masyarakat moderat dengan masyarakat ekstremis
Tipe masyarakat ini ditandai dengan adanya masyarakat ekstrim kiri dan ekstrim kanan. Dimana ekstrim kanan ialah sebutan untuk orang-orang yang terlalu normative dan tekstual dalam memahami sesuatu, sedangkan ekstrim kanan ialah yang terlalu jauh dari normative dalam memahami sesuatu dalam teks al – Qur’an. Masyarakat moderat sendiri diambil dari kata ummatan wasathan.

dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu (umat islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas  (perbuatan) kamu”.[7]

Ummatan wasathan mengandung makna sebagai posisi tengah-tengah antara etika Yahudi dan etika Nasrani. Diaman etika Yahudi merupakan etika yang kaku, keras dan formal dan etika Nasrani lemah lembut dan bernuansa spiritual. Sifat tengah-tengah di sini bukan berarti sifat yang tidak jelas, melainkan justru watak ini akan tampak jelas terlihat dari sikapnya yang dapat memposisikan diri sesuai dengan kondisi dan keadaan yang ada dalam kehidupan. Rasulullah mempertegas hal ini dengan sabdanya yang mengatakan bahwa sebaik-baik perkara ialah paling tengah diantara perkara itu.


3.      Masyarakat Kritis dengan Masyarakat Diam
Masyarakat kritis ditandai dengan suaranya yang lantang ketika melihat ketidak adilan, ketidak jujuran, dan juga kebatilan. Beberapa teknik yang diberikan oleh Nabi melalui beberapa stratifikasi dan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang: pertama, perangkat kekuasaan, ini ialah posisi tertinggi dimana seseorang harus menggunakan kekuasaannya dalam segala hal, baik politik, ekonomi, maupun keagamaan untuk bersikap kritis menuju liberasi dan transformasi. Kedua, kritis dengan ide. Apabila kekuasaan tidak dimiliki maka jalan lain ialah melalui ide, gagasan, tulisan ataupun lisan. Tingkatan ini biasanya dilakukan oleh para tokoh intelektual, penulis, pendakwah maupuun pemikir. Jika kedua kritis tersebut tidak dapat dilakukan maka selanjutnya ialah kritis melalui doa agar kondisi munkar beganti dengan ma’ruf. Inti masyarakat kritis dalam konteks ummah ialah yang bergerak pada tiga gagasan, yaitu: kritik atas objek sebelumnya, menawarkan objek baru dan melakukan objek baru tersebut. Kritis inilah yang diharapkan dalam al – Qur’an. Sebaliknya, masyarakat diam dalam banyak hal menciptakan orang-orang yang otoriter dan despotic. Bahkan masyarakat diam juga akan memunculkan adanya sikap tirani, sikap dimana orang menganggap dirinya paling benar dan ingin menguasai.


4.      Masyarakat Plural dengan Masyarakat Tunggal
5.      Masyarakat Being Religious dengan Masyarakat Having Religion
6.      Masyarakat Adil dengan Masyarakat Timpang
7.      Masyarakat Temporal dengan Masyarakat Absolut
8.      Masyarakat Tanggung Jawab dengan Masyarakat Nihilis




[1] M. Quraish Shihab, Wawasan Al – Qur’an: Tafsir Al – Maudu’I atas Berbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan anggota IKAPI, 1999), h. 325 – 328.
[2] Iswahyudi, Masyarakat High Politics: Refleksi Masyarakat Ummah dalam Al – Qur’an (Jakarta: STAIN Ponorogo Press, 2010), h. 47 – 48.
[3] Ibid., h. 48 – 50.
[4] Ibid., h. 50 – 84.
[5] Q.S. Luqman, 31: 22.
[6] Q.S. an – Nahl, 16: 36.
[7] Q.S. al – Baqarah, 2: 143.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar