Senin, 10 Juni 2013

oleh : Anisa Hidayati, dkk.

A.     Sejarah Kebangkitan dan Pembaharuan Islam
Pada tanggal 2 Juli 1798, Napoleon Bonaparte datang ke Alexandria (Mesir) untuk menguasai Timur terutama India.Dalam perjlanannya, Napoleon tidak hanya membawa tentara namun ia juga membawa  para ahli ilmu pengetahuan serta dua set mesin cetak dengan huruf Latin, Arab, dan Yunani, dan juga alat-alat eksperimen ilmiah lainnya. Tidak berhenti disitu, Napolleon juga membuat lembaga ilmiah yang bernama Institut d’Egypte yang tersusun dari empat bagian, ilmu alam, ilmu pasti, ekonomi, politik, serta sastra dan kesenian.Orang-orang Mesir dan para ulama bebas mengunjungi institute itu untuk menambah pengetahuan ahli prancis dalam bahasa Arab dan agama Islam. Perpustakaan mereka bukan hanya memiliki buku-buku dalam bahasa Eropa saja, namun terdapat pula buku-buku islam dalam bahasa Arab, Persia dan Turki. Dalam hal ini, masyarakat Islam melihat bahwa Barat sudah sangat maju dengan adanya alat-alat yang masih dianggap aneh oleh orang-orang Islam.Namun dibalik usahanya, Napolleon harus meneriam kegagalannya untuk meneruskan ekspedisi ke India (18 Agustus 1799 M) dan membuatnya harus kembali ke Prancis.Karena kegagalannya ini, padatahun 1216 H/1801 M Napolleon beserta pasukannya memutuskan untuk kembali ke Eropa.Namun ada sebagian tentara Napolleon yang menolak untuk kembali dan memutuskan untuk tinggal di Mesir.[1]
Melihat kemajuan barat yang amat mengagumkan di mata umat Islam, mendorong masyarakat islam membuka mata dan menyadari kemunduran yang dialami pada saat itu. Hal ini pula yang membuat Muhammad Abduh serta pemikir lain mulai sadar akan pentingnya pembaharuan. Usaha pembaharuan di Mesir pertama dilakukan oleh Ali Pasya’.Dia memiliki para pembesar dan penasehat pemerintahan dari orang-orang yang mengalami ekspedisi Napolleon dan melihat perkembangan yang dibawanya.Selain itu, ahli-ahli Napolleon yang menetap di mesir juga dijadikan penasihat pemerintahannya.Untuk mendukung gagasannya, Ali Pasya’ juga mendatangkan para ahli dari Eropa untuk mengadakan pembaruan dalam bidang militer dan ekonomi serta mengirim pemuda mesir belajar ke Eropa.Pembaruan dalam bidang militer dan ekonomi juga diikuti dengan perkembangan pemikiran dan gerakan pembaruan di Mesir.
Dalam hal ini dikemukakan pendapat lain tentang munculnya pembaharuan, bahwa dalam sejarah kemunduran Islam yang disebabkan oleh tamatnya pemerintahan Abbasiyah dan di teruskan oleh tiga kerajaan besar pada abad XVI seperti Utsmaniyah (sunni), Safawi(syiah), dan Mughal (sunni). Namun menuju abad XVIII tiga kerajaan besar ini mengalami kemunduran dan semakin melemah.Hal ini disebabkan oleh adanya disintegrasi politik serta memburuknya perekonomian akibat persaingan dagang dengan negara-negara Eropa atau karena kalah perang serta kemerosotan spiritualitas dan moralitas masyarakat terutama para penguasa. Akibat dari kemuduran itu banyak spekulasi tentang keyakinan bahwa[2]:
Hal-hal tersebut terjadi oleh karena Islam yang diamalkan dan dihayati oleh umat Islam bukan lagi ajaran Islamyang murni.Melainkan ajaran yang pada hakikatnya bertentangan secara diametrikal dengan ajaran Islam serta munculnya inovasi baru yang tidak Islami.
Untuk meraih kembali kejayaan yang pernah dinikmati pada keemasannya dahulu, umat Islam harus memulihkan vitalitas mereka dengan kembal pada ajaran Islam yang murni.
Berdasarkan pendapat dan keyakinan itu, maka dibanyak wilayah dunia Islam seperti di Benua Afrika, Timur Tengah dan India bermunculan gerakan-gerakan pembaharu atau pemurnian kembali ajaran-ajaran Islam.
B.     Tokoh-Tokoh Pembaharu Islam
Beberapa tokoh pembaharu Islam yang dihasilkan pada zaman kejayaan Mesir :
1.      RIfa’ah Badawi Rafi al-Tahtawi
Al – Tahtawi merupakan seorang alumni dari al-Azhar Kairo yang lulus pada tahun 1241 H/1826 M. al-Tahtawi dikirim ke Paris untuk memimpin para pelajar Mesir yang ada di sana. Selama bertugas di sana, ia belajar bahasa Prancis hingga mahir. Oleh karena itu, setelah ia kembali ke Kairo ia diangkat menjadi guru penerjemah di sekolah kedokteran. Tahun 1252 H/1836M sekolah penerjemah di dirikan dan ia diangkat menjadi kepalanya.[3]
Dalam hal pemikiran al Tahtawi berpendapat bahwa jalan menuju kesejahteraan ialah dengan berpegang kepada agama dan budi pekerti. Untuk itu dibutuhkan pendidikan yang universal, yang berlaku untuk semua termasuk wanita, ia juga menekankan perlunya para ulama mengetahui ilmu modern sehingga mereka mampu mnyesuaikan syari’at islam dengan kebutuhan zaman modern. Maka menurutnya, pintu ijtihad harus kembali dibuka.
Disamping itu, at-Tahawi adalah orang mesir pertama yang menganjurkan patriotisme kata al-wathan menurutnya adalah mesir. Bukan seluruh dunia islam. Karenanya dia tidak membenarkan perpecahan bangsa menjadi kelompok-kelompok kecil.[4]
2.      Jamal al-Din al-Afghani
Jamaludin al-Afghani dilahirkan pada tahun 1838 di As’adabad, dekat Kanar, wilayah Kabul, Afganistan. Dia terlahir dari suatu keluarga penganut mazhab Hanafi dan keturunan Husaen bin Ali bin Abi Thalib. Namun dalam versi lain ada pula yang mengatakan bahwa dia lahir di Persia. Dengan maksud untuk menyelamatkan diri dari kesewenang-wenangan penguasa Persia.Namun pada masa kecil dan remajanya dia tinggal di Afganistan.[5]
Al – Afghani merupakan salah satu tokoh pembaharu islam yang sering kali berpindah tempat tinggal. Pada masa kecilnya Ia tinggal di Afghanistan hingga dewasa bahkan sempat menjabat sebagai seorang perdanamentri di Afghanistan. Kemudian pada tahun 1286 H/1869 M ia pindah ke India, namun ia hanya bertahan dua tahun di India dan pada 1288 H/1872 M ia berpindah ke Mesir dan menetap hingga delapan tahun. Pada saat di Mesir, ia sempat membuat sebuah partai pada tahun 1297 H/1879 M dengan selogan “Mesir untuk orang Mesir”.Pembentukan partai ini dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran sebelumnya yaitu al-Tahtawi yang pada saat itu pemikirannya sudah meluas di penjuru Mesir.Selain itu, al-Afghani juga yang membangkitkan gerakan berfikir untuk mencapai tujuan.Al- Afghani juga merupakan salah satu penyeru bersatunya bangsa Arab yang dikenal sebagai pan-Arabisme yang nantinya menuai kritikan dari para muridnya.Hal ini bertujuan untuk menyelesaikan perselisihan bangsa Arab dan persiapan dalam menghadapi ancaman luar.[6]
Selain menyatukan bangsa Arab, Afghani menganjurkan pembentukan suatu ikatan politik yang mempersatukan seluruh umat Islam yang dalam bahasa Arab disebut Jami’ah Islamiyah atau dalam istilah asing disebut Pan – Islmisme.Walaupun nantinya pemikiran ini berlanjut pada muridnya dengan penafsiran yang berbed-beda.Menurut Afghani sendiri asosiasi politik ini harus meliputi seluruh umat Islam dari segala penjuru dunia Islam, baik yang hidup dalam negara-negara yang merdeka maupun negara yang masih terjajah.Ikatan tersebut didasarkan atas solidaritas aqidah Islam, yang bertujuan membina kesetiakawanan dan persatuan umat Islam dalam perjuangan menentang tiap sistem pemeritahan dinegeri sendiri yang despotic atau sewenang-wenang, dan menggantikannya dengan sistem pemerintahan yang berdasarkan musyawarah seperti yang diajarkan oleh Islam. Ini sama saja bahwa menentang sistem pemerintahan Utsmaniyah yang absolut pada saat itu. Selain itu juga untuk menentang kolonialisme dan dominasi Barat.
3.      Muhammad Abduh
Muhammad Abduh merupakan salah satu murid dari Jamalduin al-Afghani.Dia  lahir pada tahun 1862 dari keluarga petani. Dia dimasukkan ke sekolah agama di Thantha, tetapi sepertinya Abduh sendiri kurang tertarik dalam sekolah agama. Oleh karena itu ia keluar dari sekolah agama dan mulai kembali belajar atas bujukan adik kakeknya. Pada tahun 1865 dia kembali ke Thantha, namun tahun berikutnya ia meninggalkan Thantha dan belajar di Al-Azhar, Kairo. Setelah ke Al-Azhar perhstisn Abduh mulai terpusat pada kajian tasawuf dan kehidupan sufi. Namun berhasil dibujuk oleh adik kakeknya untuk meninggalkan tasawuf dan praktik sufinya.Pada tahun 1872, Abduh genap berusia 23 tahun. Pada tahun ini Abduh mulai mengenal Al-Afghani, kepada Al-Afghani lah Abduh belajar tentang melihat agama dan ajaran lain dengan kacamata yang baru. Dari Al-Afghani pula Abduh mulai dikenalkan dengan karya-karya penulis Barat yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Arab.Selain itu Abduh juga mulai diperkenalkan pada masalah-masalah politik dan sosial yang tengah dihadapi baik oleh rakyat Mesir maupun umat Islam pada umumnya.[7]
Pemikiran Abduh terletak pada pandangan bahwa Islam adalah agama yang rasional.Wahyu tidak membawa hal-hal yang bertentangan dengan akal.Dan apabila ada, harus dicari interpretasi yang selaras dengan akal. Sehingga menurutnya, Taqlid harus dihapuskan dan ijtihad harus dihidupkan Abduh juga berpendapat bahwa anatar ilmu dan iman tidaklah bertentangan .dalam bidang pendidikan, Abduh membuat pembaruan sistem pendidikan di Al-Azhar dengan memasukkan matakuliah filsafat. Ia sangat rajin meniupkan jiwa modernisme dikalangan kaum intelektual muslim yang sedang tumbuh pada saat itu.[8]
Muhammad Abduh sama seperti gurunya, memiliki gagasan tersendiri tentang pan-Islamisme. menurut Abduh, yang berbeda persepsi dengan gurunya ini beranggapan bahwa tidak seharusnya pemerintahan Utsmaniyah diganggu. Meskipun pemerintahan Utsmaniyah bobrok, namun menurut Abduh pemerintahan Utsmaniyah ini masih memiliki kesempatan dan harapan untuk diperbaiki.Setelah adanya perbaikan dan reformasi maka barulah bisa memainkan peranan sebagai kekuatan moral dan spiritual bagi pembinaan solidaritas Islam dan bagi penggalakan semangat dunia Islam untuk terus bergerak maju. Menurut Abduh sendiri, meskipun para penguasa Turki mulai terlihat lemah namun bagaimanapun juga para penguasa turki ini masih bisa dikatakan lebih kuat dari raja-raja lain selain Turki. Karena memang pada saat itu Turkilah yang terkuat diantara kerajaan Islam lainnya. Selain itu, Abduh juga menganggap bahwa apabila rakyat dari berbagai wilayah dunia Islam berusaha untuk melepaskan diri dari kekuasaan Turki apalagi dengan jalan kekerasan, edangkan kekuatan militer Turki pada saaat itu masih cukup tangguh,maka justru akan menyebabkan timbulnya peperangan. Dalam peperangan ini secra otomatis akan sangat menguras banyak tenaga dan modal, sudah pasti akan sangat melelahkan dan membutuhkan biaya yang cukup mahal. Oleh karena itu, peperangan ini justru akan memperlemah dunia Islam dalam menghadapi kolonialisme dan imeprialisme Barat.[9]
4.      Rasyid Ridha’
Muhammad Rasyid Ridha lahir di kota Tripoli yang terletak di sebelah utara Beirut, Libanon yang sebelum perang dunia I wilayah tersebut masuk dalam wilayah territorial Suria. Ia lahir pada tahun 1865 dari keluarga Husen bin Ali bin Abu Thalib. Dia mulai pendidikannya di Madrasah Ibtidaiyah Rasyidiyah di Tripoli, dan pada tahun 1883 memasuki madrasah Wathaniyah Islamiyah di Beirut dibawah pimpinan Hasan Jassar, seorang pengagum Afghani. Sekitar 1886 ia lulus dari lembaga pendidikan tersebut keudian ia mulai menulis di majalah-majalah dan rajin menghadiri ceramah-ceramah agama. [10]
Dalam pemikirannya, Rasyid Ridha’ sangat dipengaruhi oleh pemikiran Abduh. Hal ini ditunjukan dengan karya-karya Ridha’ dalam majalah yang diterbitkannya yaitu al-Manar yang dalam edisi pertamanya ia menyatakan bahwa tujuan dari al-Manar ini ialah tidak lain untuk melakukan pembaharuan dalam bidang agama, sosial, politik, serta ekonomi. Pada edisi selanjutnya Ridha’ mencantumkan karangannya yang diperoleh dari perkuliahannya di Mesir yang diisi oleh Abduh dan dikonsultasikan langsung padanya.Dari sini maka muncullah tafsir al-Manar yang berisi tulisan Abduh dan selebihnya ditulis oleh Ridha’.
Sama seperti gurunya, Ridha’ juga memiliki gagasan tersendiri tentang pan-Islmisme, menurutnya, Jami’yah Islamiyah justru harus merupakan lembaga Utsmaniyah murni, dibawah pimpinan sultan Abdul Hamid II, yang mempersatukan seluruh umat Islam dengan tujuan untuk memperkuat wibawa dan kemampuan sultan dalam menghadapi tantangan-tantangan kekuatan asing. Hal ini mencerminkan bahwa Ridha berpendirian untuk mempertahankan khilafah dan kepercayaan penuh terhadap pemerintah Utsmaniyah. Selain itu, Ridha juga sempat menentang adanya gerakan nasionalisme arab atau pan – Arabisme. Karena menurutnya, hal ini dapat melemahkan kekuasan Utsmaniyah karena dua suku ini merupakan unsur kekuatan utama Islam.
Munculnya Pan – Islamisme snediri dilatarbelakangi oleh adanya penjajahan Inggris di Mesir. Pada masa penjajahan Inggris di Mesir, ada sesuatu yang membuat Afgani bergerak untuk mengembalikan Mesir ke tangan orang Mesir itu sendiri.Sedangkan dalam tujuannya sendiri adalah untuk mewujudkan masyarakat Islam yang maju baik secara sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain. Yaitu dengan cara :
1.      Mengajak umat Islam untuk bersatu dan menggalang solidaritas umat Islam.

2.      Mengajak umat Islam pada pandangan salafisme.
3.      Memberikan sebuah penyadaran-penyadaran pada masyarakat bahwa :

a.       Umat Islam bisa maju dan berkembang tanpa harus tunduk pada Barat.
b.      Kembali pada ajaran Islam yang benar, jauh dari tahayul, bid’ah dan curafat.
c.       Melawan segala bentuk kolonialisme dan imperialism. Namun menganjurkan umat Islam untuk mrncotoh perkembangan dan kemajuan Barat.
4.      Mengembangkan gagasan pan – Islamisme, yaitu sebuah gagasan dimana solidaritas antar umat Islam di junjung tinggi agar bisa merasakan senasib dan seperjuangan seperti layaknya tubuh.
5.      Mengambil kembali titipan Islam yang diambil oleh Barat yaitu teknologi dan sains.

5. Muhammad Iqbal
            Muhammad Iqbal lahir di Silakot, Punjb, Pakistan. Pada tanggal 9 November 1877. Ia berasal dari keturunan keluarga muslim taat yang telah memeluk agama Islam tiga abad lamanya. Ayah serta kakeknya adalah orang yang selalu hidup dalam dunia sufistik. Awal pendidikanny dimulai dari ayahnya sendiri, dan kemudian ia masuk dalam makhtab (madrasah) untuk belajar al-Qur’an. Kemudian pendidikannya dilanjutkan dengan beljar di Scottish Mission School di Sialkot. Disini ia belajar pada seorang sufi muslim bernama Mir Hasan yang nantinya banyak berpengaruh dalam pemikiran Iqbal. Selanjutnya Ia melanjutkan pendidikan ke Government College di Labored an berguru pada Sir Thomas Arnold, dari sinilah Iqbal mulai mengenal para pemikir Barat, dan kemudian melalui saran gurunya ini secara langsung Ia belajar di Trinity College, Cambridge, Inggris. Maka semakin banyak pula pemikir barat yang ia temui dan pemikiran yang ia pelajari. Selanjutnya ia juga sempat belajar ke Jerman untuk mendapatan gelar Doktor.[11]
            Menurut Wilfred Cantwell, kiranya ada tiga hal yang mempengaruhi pemikiran Muhammad Iqbal pada saat Ia di Eropa, yang nantinya Ia bawa hingga kepulangannya ke negeri sendiri, India, untuk melakukan pembaharuan dengan menyadarkan umat islam yang sedang terlena dengan keadaan yang sudah ada. Tiga hal tersebut antara lain, pertama, vitalitas dan aktivitas kehidupan orang Eropa yang luar biasa. Kedua, berhubungan dengan yang pertama, Iqbal menangkap visi yang sangat mungkin dikembangkan dalam kehidupan bangsa-bangsa Timur yang berupa potensi diri yang telah begitu luas diembangkan oleh orang Barat. Ketiga, ada bagian tertentu kehidupan Barat yang melahirkan manusia-manusia yang terpecah keperibadiannya (split personality). Peradaban Barat yang identik dengan semangat kapitalisme dan liberalisme, menurutnya memberi andil besar dalam tumbuhnya keputusan individu.[12]
Pada tahun 1908, Iqbal pulang ke India. Ia mulai merealisasian hasil belajarnya dalam berbagai bidang pemerintahan. Ia menjai advokat, disamping itu juga tidak jarang Ia dipanggil untuk memberikan ceramah dibidang pendidikan. Dan Ia juga tak luput dari kegiatan politik di India, Ia dicalonkan menjadi anggota Dewan Legislatif di Punjab dan menjadi bagian dari tokoh Teras Liga Muslim, organisasi politik umat islam yang menuntut negara sendiri terpisah Dario dominasi Hindu. Ia mengikuti berbagai polemik perjalanan Teras Liga Muslim ini, namun pada 1935 ia mulai jatuh sakit dan pada 21 April 1938 Ia menghembuskan nafas terakhirya. Meskipun hingga wafaatnya Ia tidak sempat menyaksikan terwujudnya cita-cita Teras Liga Muslim dalam membuat negara sendiri, namun cita-cita ini dilanjutkan oleh temannya yaitu Muhammad Ali Jinnah. Maka pada tanggal 15 Agustus 1947, Umat islam berhasi melepaskan diri dari India dan membuat negara baru yang bernama Pakistan.
6.         Mustafa Kemal Ataturk
            Mustafa Kemal lahir pada 1881 di kota Salonika. Terlahir ditengah-tengah keluarga religius. Ayahnya ialah seorang pegawai kantor rendahan dan ibunya seorang muslim dengan tingkat religiusitas yang tinggi. Awalnya, Mustafa Kamal dikirim oleh ibunya ke madrasah, namun Ia tida dapat bertahan lama karena sering melawan gurunya. Oleh karena itu, Ia dikirim orang tuanya ke sekolah dasar modern di Salonika. Atas usahanya sendiri, Kemal berhasil masuk seolah militer hingga jenjang yang tinggi. Karena kecerdasannya ia mendapat gelar tambahan Kemal (yang sempurna) dibelakang namanya. Kemudian gelar Ataturk (bapak Turki) ia peroleh arena kepiawaiannya dalam membawa turki menjadi bangsa modern. Setelah selesai dari pendidikan militer, Mustafa mulai tertarik dengan dunia politik. Oleh arena itu, untuk menambah pengetahuan politiknya ia mulai belajar bahasa Prancis dan membaca karya-karya para pemikir politik seperti J. J. Rousseau dan August Comte.[13]
Mustafa Kemal melalui perjalanan hidupnya ia tumbuh menjadi salah satu tokoh Islam pemikir politik sekuler yang paling berpengaruh. Ia tiak hanya berhenti pada tataran wacana, namun juga bergerak pada lapangan praktis mengembangkan ide-ide sulernya dalam berbagai kebijakan politik. Ia juga yang menjadikan Turki sebagai negara nasional yang modern dan menyelamatkan kerajaan Turki Utsmani dari kekalahan atas bangsa Eropa.

KESIMPULAN
Kebangkitan dan pembaharuan dalam Islam dilatarbelakangi oleh adanya kesadaran umat Islam yang telah tertinggal jauh dari kemajuan Barat.Sedangkan kesadaran umat Islam sendiri mulai muncul ketika Napolleon Bonaparte membawa balatentara lengkap dengan para ilmuan dan memperkenalkan banyak penemuan baru dalam bidang sains maupun teknologi.Hal ini semakin memicu umat Islam untuk melakukan pembaharuan baik dalam bidang agama, sosial, politik, maupun ekonomi. Pembaharuan ini terjadi tidak lain karena para tokoh pembaharu Islam yang muncul pada saat itu. Tokoh-tokoh tersebut diataranya ialah RIfa’ah Badawi Rafi al-Tahtawi, Jamal ad-Din al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Ibnu Ridha.Merekalah para leader pembaharu pada saat itu yang kemudian nantinya masih banyak lagi tokoh-tokoh pembaharu yang tidak bisa penulis bahas karena keterbatasan waktu.Salah satunya yaitu tokoh pembaharu Islam di Idonesia yaitu Muhammad Natsir dengan banyak pemikirannya yang banyak membawa pengaruh pada masyarakat Islam di Indonesia.
Disamping para tokoh tersebut, pemikiran-pemikiran yang dibawa mereka pun mampu memberikan udara segar bagi umat muslim pada saat itu. Dengan adanya pembaharuan-pembaharuan, maka Islam mualai mmapu berkembang mengikuti perjalanan zaman.Walaupun hingga saat ini Islam mulai teralienasikan oleh arus modernisasi yang sangat kuat.





Daftar Pustaka


Iqbal, Muhammad dan Amin Husein Nasution. Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer. Jakarta: Kencana, 2010.
Kartanegara,Mulyadi.Pengantara Studi Islam.Jakarta: UIN Press, 2010.

Pemikiran Politik Muhammad Abduh, artikel ini diakses pada 23 Maret 2013 dari http://artikelsifaks.blogspot.com/2010/04/pemikiran-politik-muhammad-abduh.html
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara.Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 2003.





[1]MulyadiKartanegara, Pengantara Studi Islam (Jakarta: UIN Press, 2010), h. 18-19.
[2]Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara(Jakarta: Universitas Indonesia(UI-Press), 2003). h. 111 – 113.
[3] MulyadiKartanegara, Pengantara Studi Islam (Jakarta: UIN Press, 2010), h. 20.
[4]Ibid., h. 21.
[5]Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara(Jakarta: Universitas Indonesia(UI-Press), 2003). h. 117-119.
[6]MulyadiKartanegara, Pengantara Studi Islam, h. 21 – 22.
[7]Ibid., h. 120-121.
[8]Pemikiran Politik Muhammad Abduh, artikel ini diakses pada 23 Maret 2013 dari http://artikelsifaks.blogspot.com/2010/04/pemikiran-politik-muhammad-abduh.html
[9]Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negar, h. 120.
[10]Ibid., h. 121 – 123.

[11] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2010) hal. 88 – 90.
[12] Ibid., h. 90.
[13] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2010) hal. 107 – 109.VVVVVVVVVV

Tidak ada komentar:

Posting Komentar