oleh : Anisa Hidayati, dkk.
A.
Sejarah Kebangkitan dan Pembaharuan Islam
Pada
tanggal 2 Juli 1798, Napoleon Bonaparte datang ke Alexandria (Mesir) untuk
menguasai Timur terutama India.Dalam perjlanannya, Napoleon tidak hanya membawa
tentara namun ia juga membawa para ahli
ilmu pengetahuan serta dua set mesin cetak dengan huruf Latin, Arab, dan Yunani,
dan juga alat-alat eksperimen ilmiah lainnya. Tidak berhenti disitu, Napolleon
juga membuat lembaga ilmiah yang bernama Institut
d’Egypte yang tersusun dari empat bagian, ilmu alam, ilmu pasti, ekonomi,
politik, serta sastra dan kesenian.Orang-orang Mesir dan para ulama bebas mengunjungi
institute itu untuk menambah pengetahuan ahli prancis dalam bahasa Arab dan
agama Islam. Perpustakaan mereka bukan hanya memiliki buku-buku dalam bahasa Eropa
saja, namun terdapat pula buku-buku islam dalam bahasa Arab, Persia dan Turki. Dalam
hal ini, masyarakat Islam melihat bahwa Barat sudah sangat maju dengan adanya
alat-alat yang masih dianggap aneh oleh orang-orang Islam.Namun dibalik
usahanya, Napolleon harus meneriam kegagalannya untuk meneruskan ekspedisi ke
India (18 Agustus 1799 M) dan membuatnya harus kembali ke Prancis.Karena
kegagalannya ini, padatahun 1216 H/1801 M Napolleon beserta pasukannya
memutuskan untuk kembali ke Eropa.Namun ada sebagian tentara Napolleon yang
menolak untuk kembali dan memutuskan untuk tinggal di Mesir.[1]
Melihat
kemajuan barat yang amat mengagumkan di mata umat Islam, mendorong masyarakat
islam membuka mata dan menyadari kemunduran yang dialami pada saat itu. Hal ini
pula yang membuat Muhammad Abduh serta pemikir lain mulai sadar akan pentingnya
pembaharuan. Usaha pembaharuan di Mesir pertama dilakukan oleh Ali Pasya’.Dia memiliki
para pembesar dan penasehat pemerintahan dari orang-orang yang mengalami
ekspedisi Napolleon dan melihat perkembangan yang dibawanya.Selain itu,
ahli-ahli Napolleon yang menetap di mesir juga dijadikan penasihat
pemerintahannya.Untuk mendukung gagasannya, Ali Pasya’ juga mendatangkan para
ahli dari Eropa untuk mengadakan pembaruan dalam bidang militer dan ekonomi
serta mengirim pemuda mesir belajar ke Eropa.Pembaruan dalam bidang militer dan
ekonomi juga diikuti dengan perkembangan pemikiran dan gerakan pembaruan di
Mesir.
Dalam
hal ini dikemukakan pendapat lain tentang munculnya pembaharuan, bahwa dalam
sejarah kemunduran Islam yang disebabkan oleh tamatnya pemerintahan Abbasiyah
dan di teruskan oleh tiga kerajaan besar pada abad XVI seperti Utsmaniyah
(sunni), Safawi(syiah), dan Mughal (sunni). Namun menuju abad XVIII tiga
kerajaan besar ini mengalami kemunduran dan semakin melemah.Hal ini disebabkan
oleh adanya disintegrasi politik serta memburuknya perekonomian akibat
persaingan dagang dengan negara-negara Eropa atau karena kalah perang serta
kemerosotan spiritualitas dan moralitas masyarakat terutama para penguasa.
Akibat dari kemuduran itu banyak spekulasi tentang keyakinan bahwa[2]:
Hal-hal
tersebut terjadi oleh karena Islam yang diamalkan dan dihayati oleh umat Islam bukan
lagi ajaran Islamyang murni.Melainkan ajaran yang pada hakikatnya bertentangan
secara diametrikal dengan ajaran Islam serta munculnya inovasi baru yang tidak
Islami.
Untuk
meraih kembali kejayaan yang pernah dinikmati pada keemasannya dahulu, umat Islam
harus memulihkan vitalitas mereka dengan kembal pada ajaran Islam yang murni.
Berdasarkan
pendapat dan keyakinan itu, maka dibanyak wilayah dunia Islam seperti di Benua
Afrika, Timur Tengah dan India bermunculan gerakan-gerakan pembaharu atau
pemurnian kembali ajaran-ajaran Islam.
B.
Tokoh-Tokoh Pembaharu Islam
Beberapa
tokoh pembaharu Islam yang dihasilkan pada zaman kejayaan Mesir :
1. RIfa’ah Badawi Rafi al-Tahtawi
Al
– Tahtawi merupakan seorang alumni dari al-Azhar Kairo yang lulus pada tahun
1241 H/1826 M. al-Tahtawi dikirim ke Paris untuk memimpin para pelajar Mesir
yang ada di sana. Selama bertugas di sana, ia belajar bahasa Prancis hingga
mahir. Oleh karena itu, setelah ia kembali ke Kairo ia diangkat menjadi guru
penerjemah di sekolah kedokteran. Tahun 1252 H/1836M sekolah penerjemah di
dirikan dan ia diangkat menjadi kepalanya.[3]
Dalam
hal pemikiran al Tahtawi berpendapat bahwa jalan menuju kesejahteraan ialah
dengan berpegang kepada agama dan budi pekerti. Untuk itu dibutuhkan pendidikan
yang universal, yang berlaku untuk semua termasuk wanita, ia juga menekankan
perlunya para ulama mengetahui ilmu modern sehingga mereka mampu mnyesuaikan
syari’at islam dengan kebutuhan zaman modern. Maka menurutnya, pintu ijtihad
harus kembali dibuka.
Disamping
itu, at-Tahawi adalah orang mesir pertama yang menganjurkan patriotisme kata
al-wathan menurutnya adalah mesir. Bukan seluruh dunia islam. Karenanya dia
tidak membenarkan perpecahan bangsa menjadi kelompok-kelompok kecil.[4]
2. Jamal al-Din al-Afghani
Jamaludin al-Afghani dilahirkan pada tahun 1838 di As’adabad, dekat
Kanar, wilayah Kabul, Afganistan. Dia terlahir dari suatu keluarga penganut
mazhab Hanafi dan keturunan Husaen bin Ali bin Abi Thalib. Namun dalam versi
lain ada pula yang mengatakan bahwa dia lahir di Persia. Dengan maksud untuk
menyelamatkan diri dari kesewenang-wenangan penguasa Persia.Namun pada masa
kecil dan remajanya dia tinggal di Afganistan.[5]
Al – Afghani merupakan salah satu tokoh pembaharu islam yang sering
kali berpindah tempat tinggal. Pada masa kecilnya Ia tinggal di Afghanistan
hingga dewasa bahkan sempat menjabat sebagai seorang perdanamentri di
Afghanistan. Kemudian pada tahun 1286 H/1869 M ia pindah ke India, namun ia
hanya bertahan dua tahun di India dan pada 1288 H/1872 M ia berpindah ke Mesir
dan menetap hingga delapan tahun. Pada saat di Mesir, ia sempat membuat sebuah
partai pada tahun 1297 H/1879 M dengan selogan “Mesir untuk orang
Mesir”.Pembentukan partai ini dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran sebelumnya
yaitu al-Tahtawi yang pada saat itu pemikirannya sudah meluas di penjuru
Mesir.Selain itu, al-Afghani juga yang membangkitkan gerakan berfikir untuk
mencapai tujuan.Al- Afghani juga merupakan salah satu penyeru bersatunya bangsa
Arab yang dikenal sebagai pan-Arabisme yang nantinya menuai kritikan dari para
muridnya.Hal ini bertujuan untuk menyelesaikan perselisihan bangsa Arab dan
persiapan dalam menghadapi ancaman luar.[6]
Selain menyatukan bangsa Arab, Afghani menganjurkan pembentukan
suatu ikatan politik yang mempersatukan seluruh umat Islam yang dalam bahasa
Arab disebut Jami’ah Islamiyah atau dalam istilah asing disebut Pan –
Islmisme.Walaupun nantinya pemikiran ini berlanjut pada muridnya dengan
penafsiran yang berbed-beda.Menurut Afghani sendiri asosiasi politik ini harus
meliputi seluruh umat Islam dari segala penjuru dunia Islam, baik yang hidup
dalam negara-negara yang merdeka maupun negara yang masih terjajah.Ikatan
tersebut didasarkan atas solidaritas aqidah Islam, yang bertujuan membina
kesetiakawanan dan persatuan umat Islam dalam perjuangan menentang tiap sistem
pemeritahan dinegeri sendiri yang despotic atau sewenang-wenang, dan
menggantikannya dengan sistem pemerintahan yang berdasarkan musyawarah seperti
yang diajarkan oleh Islam. Ini sama saja bahwa menentang sistem pemerintahan
Utsmaniyah yang absolut pada saat itu. Selain itu juga untuk menentang
kolonialisme dan dominasi Barat.
3. Muhammad Abduh
Muhammad Abduh merupakan salah satu murid dari Jamalduin
al-Afghani.Dia lahir pada tahun 1862
dari keluarga petani. Dia dimasukkan ke sekolah agama di Thantha, tetapi
sepertinya Abduh sendiri kurang tertarik dalam sekolah agama. Oleh karena itu
ia keluar dari sekolah agama dan mulai kembali belajar atas bujukan adik
kakeknya. Pada tahun 1865 dia kembali ke Thantha, namun tahun berikutnya ia
meninggalkan Thantha dan belajar di Al-Azhar, Kairo. Setelah ke Al-Azhar
perhstisn Abduh mulai terpusat pada kajian tasawuf dan kehidupan sufi. Namun
berhasil dibujuk oleh adik kakeknya untuk meninggalkan tasawuf dan praktik
sufinya.Pada tahun 1872, Abduh genap berusia 23 tahun. Pada tahun ini Abduh
mulai mengenal Al-Afghani, kepada Al-Afghani lah Abduh belajar tentang melihat
agama dan ajaran lain dengan kacamata yang baru. Dari Al-Afghani pula Abduh
mulai dikenalkan dengan karya-karya penulis Barat yang sudah diterjemahkan
dalam bahasa Arab.Selain itu Abduh juga mulai diperkenalkan pada
masalah-masalah politik dan sosial yang tengah dihadapi baik oleh rakyat Mesir
maupun umat Islam pada umumnya.[7]
Pemikiran Abduh terletak pada pandangan bahwa Islam adalah agama
yang rasional.Wahyu tidak membawa hal-hal yang bertentangan dengan akal.Dan
apabila ada, harus dicari interpretasi yang selaras dengan akal. Sehingga
menurutnya, Taqlid harus dihapuskan dan ijtihad harus dihidupkan Abduh juga
berpendapat bahwa anatar ilmu dan iman tidaklah bertentangan .dalam bidang
pendidikan, Abduh membuat pembaruan sistem pendidikan di Al-Azhar dengan
memasukkan matakuliah filsafat. Ia sangat rajin meniupkan jiwa modernisme
dikalangan kaum intelektual muslim yang sedang tumbuh pada saat itu.[8]
Muhammad Abduh sama seperti gurunya, memiliki gagasan tersendiri
tentang pan-Islamisme. menurut Abduh,
yang berbeda persepsi dengan gurunya ini beranggapan bahwa tidak seharusnya pemerintahan
Utsmaniyah diganggu. Meskipun pemerintahan Utsmaniyah bobrok, namun menurut
Abduh pemerintahan Utsmaniyah ini masih memiliki kesempatan dan harapan untuk
diperbaiki.Setelah adanya perbaikan dan reformasi maka barulah bisa memainkan
peranan sebagai kekuatan moral dan spiritual bagi pembinaan solidaritas Islam
dan bagi penggalakan semangat dunia Islam untuk terus bergerak maju. Menurut
Abduh sendiri, meskipun para penguasa Turki mulai terlihat lemah namun
bagaimanapun juga para penguasa turki ini masih bisa dikatakan lebih kuat dari
raja-raja lain selain Turki. Karena memang pada saat itu Turkilah yang terkuat
diantara kerajaan Islam lainnya. Selain itu, Abduh juga menganggap bahwa
apabila rakyat dari berbagai wilayah dunia Islam berusaha untuk melepaskan diri
dari kekuasaan Turki apalagi dengan jalan kekerasan, edangkan kekuatan militer
Turki pada saaat itu masih cukup tangguh,maka justru akan menyebabkan timbulnya
peperangan. Dalam peperangan ini secra otomatis akan sangat menguras banyak
tenaga dan modal, sudah pasti akan sangat melelahkan dan membutuhkan biaya yang
cukup mahal. Oleh karena itu, peperangan ini justru akan memperlemah dunia
Islam dalam menghadapi kolonialisme dan imeprialisme Barat.[9]
4. Rasyid Ridha’
Muhammad Rasyid Ridha lahir di kota Tripoli yang terletak di
sebelah utara Beirut, Libanon yang sebelum perang dunia I wilayah tersebut
masuk dalam wilayah territorial Suria. Ia lahir pada tahun 1865 dari keluarga
Husen bin Ali bin Abu Thalib. Dia mulai pendidikannya di Madrasah Ibtidaiyah
Rasyidiyah di Tripoli, dan pada tahun 1883 memasuki madrasah Wathaniyah
Islamiyah di Beirut dibawah pimpinan Hasan Jassar, seorang pengagum Afghani.
Sekitar 1886 ia lulus dari lembaga pendidikan tersebut keudian ia mulai menulis
di majalah-majalah dan rajin menghadiri ceramah-ceramah agama. [10]
Dalam pemikirannya, Rasyid Ridha’ sangat dipengaruhi oleh pemikiran
Abduh. Hal ini ditunjukan dengan karya-karya Ridha’ dalam majalah yang
diterbitkannya yaitu al-Manar yang dalam edisi pertamanya ia menyatakan bahwa
tujuan dari al-Manar ini ialah tidak lain untuk melakukan pembaharuan dalam
bidang agama, sosial, politik, serta ekonomi. Pada edisi selanjutnya Ridha’
mencantumkan karangannya yang diperoleh dari perkuliahannya di Mesir yang diisi
oleh Abduh dan dikonsultasikan langsung padanya.Dari sini maka muncullah tafsir
al-Manar yang berisi tulisan Abduh dan selebihnya ditulis oleh Ridha’.
Sama seperti gurunya, Ridha’ juga memiliki gagasan tersendiri
tentang pan-Islmisme, menurutnya, Jami’yah Islamiyah justru harus merupakan
lembaga Utsmaniyah murni, dibawah pimpinan sultan Abdul Hamid II, yang
mempersatukan seluruh umat Islam dengan tujuan untuk memperkuat wibawa dan
kemampuan sultan dalam menghadapi tantangan-tantangan kekuatan asing. Hal ini
mencerminkan bahwa Ridha berpendirian untuk mempertahankan khilafah dan
kepercayaan penuh terhadap pemerintah Utsmaniyah. Selain itu, Ridha juga sempat
menentang adanya gerakan nasionalisme arab atau pan – Arabisme. Karena
menurutnya, hal ini dapat melemahkan kekuasan Utsmaniyah karena dua suku ini
merupakan unsur kekuatan utama Islam.
Munculnya Pan – Islamisme snediri dilatarbelakangi oleh adanya
penjajahan Inggris di Mesir. Pada masa penjajahan Inggris di Mesir, ada sesuatu
yang membuat Afgani bergerak untuk mengembalikan Mesir ke tangan orang Mesir
itu sendiri.Sedangkan dalam tujuannya sendiri adalah untuk mewujudkan
masyarakat Islam yang maju baik secara sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain.
Yaitu dengan cara :
1.
Mengajak umat Islam untuk bersatu dan menggalang
solidaritas umat Islam.
2. Mengajak
umat Islam pada pandangan salafisme.
3. Memberikan
sebuah penyadaran-penyadaran pada masyarakat bahwa :
a.
Umat Islam bisa maju dan berkembang
tanpa harus tunduk pada Barat.
b.
Kembali pada ajaran Islam yang
benar, jauh dari tahayul, bid’ah dan curafat.
c.
Melawan segala bentuk kolonialisme
dan imperialism. Namun menganjurkan umat Islam untuk mrncotoh perkembangan dan
kemajuan Barat.
4. Mengembangkan
gagasan pan – Islamisme, yaitu sebuah gagasan dimana solidaritas antar umat
Islam di junjung tinggi agar bisa merasakan senasib dan seperjuangan seperti
layaknya tubuh.
5.
Mengambil kembali titipan Islam yang
diambil oleh Barat yaitu teknologi dan sains.
5. Muhammad
Iqbal
Muhammad Iqbal lahir di Silakot,
Punjb, Pakistan. Pada tanggal 9 November 1877. Ia berasal dari keturunan
keluarga muslim taat yang telah memeluk agama Islam tiga abad lamanya. Ayah
serta kakeknya adalah orang yang selalu hidup dalam dunia sufistik. Awal
pendidikanny dimulai dari ayahnya sendiri, dan kemudian ia masuk dalam makhtab
(madrasah) untuk belajar al-Qur’an. Kemudian pendidikannya dilanjutkan dengan
beljar di Scottish Mission School di Sialkot. Disini ia belajar pada seorang
sufi muslim bernama Mir Hasan yang nantinya banyak berpengaruh dalam pemikiran
Iqbal. Selanjutnya Ia melanjutkan pendidikan ke Government College di Labored
an berguru pada Sir Thomas Arnold, dari sinilah Iqbal mulai mengenal para
pemikir Barat, dan kemudian melalui saran gurunya ini secara langsung Ia
belajar di Trinity College, Cambridge, Inggris. Maka semakin banyak pula
pemikir barat yang ia temui dan pemikiran yang ia pelajari. Selanjutnya ia juga
sempat belajar ke Jerman untuk mendapatan gelar Doktor.[11]
Menurut Wilfred Cantwell, kiranya
ada tiga hal yang mempengaruhi pemikiran Muhammad Iqbal pada saat Ia di Eropa,
yang nantinya Ia bawa hingga kepulangannya ke negeri sendiri, India, untuk
melakukan pembaharuan dengan menyadarkan umat islam yang sedang terlena dengan
keadaan yang sudah ada. Tiga hal tersebut antara lain, pertama, vitalitas dan
aktivitas kehidupan orang Eropa yang luar biasa. Kedua, berhubungan dengan yang
pertama, Iqbal menangkap visi yang sangat mungkin dikembangkan dalam kehidupan
bangsa-bangsa Timur yang berupa potensi diri yang telah begitu luas diembangkan
oleh orang Barat. Ketiga, ada bagian tertentu kehidupan Barat yang melahirkan
manusia-manusia yang terpecah keperibadiannya (split personality). Peradaban
Barat yang identik dengan semangat kapitalisme dan liberalisme, menurutnya
memberi andil besar dalam tumbuhnya keputusan individu.[12]
Pada tahun
1908, Iqbal pulang ke India. Ia mulai merealisasian hasil belajarnya dalam
berbagai bidang pemerintahan. Ia menjai advokat, disamping itu juga tidak
jarang Ia dipanggil untuk memberikan ceramah dibidang pendidikan. Dan Ia juga
tak luput dari kegiatan politik di India, Ia dicalonkan menjadi anggota Dewan
Legislatif di Punjab dan menjadi bagian dari tokoh Teras Liga Muslim,
organisasi politik umat islam yang menuntut negara sendiri terpisah Dario
dominasi Hindu. Ia mengikuti berbagai polemik perjalanan Teras Liga Muslim ini,
namun pada 1935 ia mulai jatuh sakit dan pada 21 April 1938 Ia menghembuskan
nafas terakhirya. Meskipun hingga wafaatnya Ia tidak sempat menyaksikan
terwujudnya cita-cita Teras Liga Muslim dalam membuat negara sendiri, namun cita-cita
ini dilanjutkan oleh temannya yaitu Muhammad Ali Jinnah. Maka pada tanggal 15
Agustus 1947, Umat islam berhasi melepaskan diri dari India dan membuat negara
baru yang bernama Pakistan.
6. Mustafa Kemal Ataturk
Mustafa Kemal lahir pada 1881 di
kota Salonika. Terlahir ditengah-tengah keluarga religius. Ayahnya ialah
seorang pegawai kantor rendahan dan ibunya seorang muslim dengan tingkat
religiusitas yang tinggi. Awalnya, Mustafa Kamal dikirim oleh ibunya ke madrasah,
namun Ia tida dapat bertahan lama karena sering melawan gurunya. Oleh karena
itu, Ia dikirim orang tuanya ke sekolah dasar modern di Salonika. Atas usahanya
sendiri, Kemal berhasil masuk seolah militer hingga jenjang yang tinggi. Karena
kecerdasannya ia mendapat gelar tambahan Kemal (yang sempurna) dibelakang
namanya. Kemudian gelar Ataturk (bapak Turki) ia peroleh arena kepiawaiannya
dalam membawa turki menjadi bangsa modern. Setelah selesai dari pendidikan
militer, Mustafa mulai tertarik dengan dunia politik. Oleh arena itu, untuk
menambah pengetahuan politiknya ia mulai belajar bahasa Prancis dan membaca
karya-karya para pemikir politik seperti J. J. Rousseau dan August Comte.[13]
Mustafa
Kemal melalui perjalanan hidupnya ia tumbuh menjadi salah satu tokoh Islam
pemikir politik sekuler yang paling berpengaruh. Ia tiak hanya berhenti pada
tataran wacana, namun juga bergerak pada lapangan praktis mengembangkan ide-ide
sulernya dalam berbagai kebijakan politik. Ia juga yang menjadikan Turki
sebagai negara nasional yang modern dan menyelamatkan kerajaan Turki Utsmani
dari kekalahan atas bangsa Eropa.
KESIMPULAN
Kebangkitan dan
pembaharuan dalam Islam dilatarbelakangi oleh adanya kesadaran umat Islam yang
telah tertinggal jauh dari kemajuan Barat.Sedangkan kesadaran umat Islam
sendiri mulai muncul ketika Napolleon Bonaparte membawa balatentara lengkap
dengan para ilmuan dan memperkenalkan banyak penemuan baru dalam bidang sains
maupun teknologi.Hal ini semakin memicu umat Islam untuk melakukan pembaharuan
baik dalam bidang agama, sosial, politik, maupun ekonomi. Pembaharuan ini
terjadi tidak lain karena para tokoh pembaharu Islam yang muncul pada saat itu.
Tokoh-tokoh tersebut diataranya ialah RIfa’ah Badawi Rafi
al-Tahtawi, Jamal ad-Din al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Ibnu Ridha.Merekalah
para leader pembaharu pada saat itu yang kemudian nantinya masih banyak lagi tokoh-tokoh
pembaharu yang tidak bisa penulis bahas karena keterbatasan waktu.Salah satunya
yaitu tokoh pembaharu Islam di Idonesia yaitu Muhammad Natsir dengan banyak
pemikirannya yang banyak membawa pengaruh pada masyarakat Islam di Indonesia.
Disamping para tokoh tersebut,
pemikiran-pemikiran yang dibawa mereka pun mampu memberikan udara segar bagi
umat muslim pada saat itu. Dengan adanya pembaharuan-pembaharuan, maka Islam
mualai mmapu berkembang mengikuti perjalanan zaman.Walaupun hingga saat ini Islam
mulai teralienasikan oleh arus modernisasi yang sangat kuat.
Daftar Pustaka
Iqbal, Muhammad dan Amin Husein
Nasution. Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia
Kontemporer. Jakarta: Kencana, 2010.
Kartanegara,Mulyadi.Pengantara
Studi Islam.Jakarta: UIN Press, 2010.
Pemikiran
Politik Muhammad Abduh, artikel ini diakses pada 23 Maret 2013 dari http://artikelsifaks.blogspot.com/2010/04/pemikiran-politik-muhammad-abduh.html
Sjadzali, Munawir. Islam
dan Tata Negara.Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 2003.
[1]MulyadiKartanegara,
Pengantara Studi Islam (Jakarta: UIN
Press, 2010), h. 18-19.
[2]Munawir
Sjadzali, Islam dan Tata Negara(Jakarta:
Universitas Indonesia(UI-Press), 2003). h. 111 – 113.
[3]
MulyadiKartanegara, Pengantara Studi
Islam (Jakarta: UIN Press, 2010), h. 20.
[4]Ibid., h. 21.
[5]Munawir
Sjadzali, Islam dan Tata Negara(Jakarta:
Universitas Indonesia(UI-Press), 2003). h. 117-119.
[6]MulyadiKartanegara,
Pengantara Studi Islam, h. 21 – 22.
[7]Ibid., h. 120-121.
[8]Pemikiran Politik Muhammad Abduh,
artikel ini diakses pada 23 Maret 2013 dari http://artikelsifaks.blogspot.com/2010/04/pemikiran-politik-muhammad-abduh.html
[9]Munawir
Sjadzali, Islam dan Tata Negar, h.
120.
[10]Ibid., h. 121 – 123.
[11]
Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa
Klasik hingga Indonesia Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2010) hal. 88 – 90.
[12]
Ibid., h. 90.
[13]
Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa
Klasik hingga Indonesia Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2010) hal. 107 –
109.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar